|
Berita
Berita BNPP
Belajar dari Konflik Thailand–Kamboja: Perbatasan Bukan Ladang Konflik
Dibuat Admin BNPP
26 Jul 2025, 11:23 WIB
Oleh: Hamidin - Kelompok Ahli BNPP RI
(Pengamat Perbatasan Negara)
Pada periode 2008 hingga awal 2010-an, dunia menyaksikan konflik bersenjata yang mencuat di perbatasan Thailand dan Kamboja. Perselisihan itu berpusat pada Kuil Preah Vihear, sebuah situs warisan budaya dunia yang menjadi titik klaim kedua negara.
Ketegangan militer, korban jiwa, serta eskalasi diplomatik membuat ASEAN turun tangan sebagai penengah. Meski Mahkamah Internasional (ICJ) akhirnya mempertegas kepemilikan situs kepada Kamboja, kejadian tersebut menyisakan pelajaran penting bagi banyak negara di kawasan Asia terutama Indonesia, yang memiliki batas darat dan laut dengan sepuluh negara tetangga.
Konflik semacam ini bukan sekadar perkara wilayah. Ia mencerminkan sejarah kolonial, persoalan identitas, kebijakan luar negeri, hingga tata kelola pembangunan kawasan perbatasan.
Bagi Indonesia yang memiliki karakter geografis yang kompleks, konflik Thailand–Kamboja perlu dibaca ulang sebagai cermin atas potensi risiko serupa bila pengelolaan perbatasan tidak dilakukan secara holistik dan bijaksana.
Sengketa yang Dipantik oleh Sejarah
Kuil Preah Vihear terletak di antara Provinsi Sisaket (Thailand) dan Provinsi Preah Vihear (Kamboja). Meskipun Mahkamah Internasional pada 1962 menetapkan kuil itu berada di wilayah Kamboja, kedua negara tetap berbeda tafsir terhadap peta kolonial Prancis yang dijadikan rujukan hukum.
Hal ini menyisakan zona abu-abu yang diperebutkan hingga akhirnya konflik pecah kembali pada 2008 saat kuil tersebut diakui sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.
Kasus ini menegaskan bahwa sengketa batas wilayah kerap dipicu oleh warisan sejarah yang belum diklarifikasi secara bersama. Dalam konteks ini, sejarah bisa menjadi bahan bakar konflik apabila tidak dikelola secara transparan dan komprehensif oleh negara-negara yang terlibat.
Mengapa Indonesia Harus Belajar?
Indonesia memiliki lebih dari 20 segmen batas darat yang masih belum tuntas dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Di wilayah laut, tumpang tindih klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) juga menjadi tantangan tersendiri.
Belajar dari kasus Preah Vihear, penting bagi Indonesia untuk segera menuntaskan penegasan batas wilayah secara legal dan menyeluruh. Pendekatan dokumentasi digital terhadap peta, arsip sejarah, serta hasil survei batas menjadi langkah penting yang perlu diambil. Semua proses ini harus dilakukan dengan keterbukaan dan kerja sama bilateral, bukan melalui klaim sepihak.
Hindari Jalan Kekerasan
Thailand dan Kamboja memilih jalur militer dalam beberapa fase sengketa, dan dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat sipil. Rumah-rumah warga hancur, ribuan orang mengungsi, dan sentimen kebencian tumbuh di masyarakat perbatasan.
Indonesia harus konsisten mengedepankan solusi damai dalam setiap sengketa batas wilayah. Pendekatan militer hanya boleh digunakan dalam konteks defensif, dan itupun menjadi pilihan terakhir.
Penguatan diplomasi bilateral serta optimalisasi mekanisme ASEAN dalam penyelesaian konflik perlu terus dikedepankan, sebagai bagian dari arsitektur keamanan regional Asia Tenggara.
Peran ASEAN dan Diplomasi Hukum
Turunnya ASEAN sebagai mediator dalam konflik Preah Vihear menunjukkan pentingnya peran organisasi kawasan dalam menjaga stabilitas. Bahkan, Thailand dan Kamboja akhirnya menyetujui kehadiran tim pemantau ASEAN untuk mengurangi eskalasi di wilayah sengketa.
Indonesia yang memiliki peran penting di ASEAN perlu terus mendorong pendekatan multilateral sebagai solusi konflik. Selain itu, penguatan kapasitas diplomasi dan instrumen hukum internasional, seperti Mahkamah Internasional dan forum arbitrase, harus menjadi bagian dari strategi nasional dalam menghadapi potensi sengketa batas negara.
Libatkan Warga Perbatasan
Salah satu pelajaran kunci dari konflik Thailand-Kamboja adalah pentingnya membangun masyarakat perbatasan yang kuat dan sadar informasi. Dalam berbagai kasus, masyarakat perbatasan seringkali menjadi korban provokasi dan komodifikasi politik oleh elit nasional.
Indonesia harus memosisikan warga perbatasan sebagai mitra strategis dalam pengelolaan wilayah. Mereka perlu diberdayakan melalui akses ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan pendidikan tentang dinamika batas negara. Pendekatan humanis menjadi krusial dalam mewujudkan perbatasan sebagai titik pertumbuhan, bukan ketegangan.
Warisan Budaya: Dari Perebutan Menuju Kolaborasi
Kuil Preah Vihear menjadi simbol konflik karena diklaim sebagai bagian dari identitas nasional masing-masing negara. Namun pada dasarnya, warisan budaya bisa dikelola secara kolaboratif dan menjadi ruang kerja sama lintas batas.
Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan model ini. Beberapa wilayah seperti Pulau Sebatik (Indonesia-Malaysia), komunitas adat lintas batas di Papua-Papua Nugini, serta situs budaya di Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste, bisa menjadi proyek percontohan kerja sama budaya lintas negara. Warisan budaya harus dimaknai sebagai jembatan diplomasi, bukan pemicu pertikaian.
Peran Media dan Edukasi Publik
Di era digital, informasi menyebar cepat dan kadang menyesatkan. Dalam kasus Thailand–Kamboja, media dan media sosial turut memperkeruh situasi melalui narasi nasionalisme sempit yang mempersulit rekonsiliasi.
Indonesia perlu memastikan bahwa komunikasi publik tentang perbatasan disampaikan dengan akurat dan bertanggung jawab. Media massa, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil harus dilibatkan dalam menyampaikan informasi objektif, menumbuhkan nasionalisme inklusif, serta menjaga transparansi dalam proses negosiasi batas negara.
Menuju Perbatasan sebagai Titik Damai
Konflik perbatasan Thailand-Kamboja menunjukkan bahwa batas negara tidak harus menjadi titik konflik, melainkan bisa menjadi ruang kolaborasi dan perdamaian. Perbatasan dapat berfungsi sebagai kawasan pertukaran budaya, kerja sama ekonomi, serta simpul diplomasi antarnegara ASEAN.
Sebagai negara kepulauan terbesar dengan garis perbatasan terpanjang di Asia Tenggara, Indonesia harus menjadikan penguatan pengelolaan batas negara sebagai prioritas nasional lintas sektor dan lintas rezim.
Investasi pada diplomasi, pendidikan, infrastruktur, serta integrasi sosial budaya merupakan strategi jangka panjang untuk memastikan bahwa batas negara adalah awal dari kerja sama, bukan akhir dari konflik.
(HUMAS BNPP RI)
Share
Kategori Berita
Berita BNPP
PLBN
Berita Nasional
Berita Perbatasan
Pers Rilis
Berita Utama
Berita Terbaru
PLBN Skouw Jadi Pusat Edukasi Perbatasan, Tanamkan Wawasan Kebangsaan bagi Generasi Muda Papua
PLBN Motamasin Terima Kunjungan BAPETEN untuk Perkuat Keselamatan Radiasi di Kawasan Perbatasan
Belajar dari Frontex: Model Pengelolaan Perbatasan Terpadu Eropa dan Relevansinya bagi Indonesia
BNPP RI Perkuat Sinergi Penataan Ruang Kawasan Perbatasan Melalui Forum Evaluasi Capaian dan Rencana Aksi 2026-2027
BNPP RI Laksanakan Pengukuran IPKP di PPKP Merauke untuk Perkuat Arah Pembangunan Kawasan Perbatasan
Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (BNPP RI)
Jl. Kebon Sirih No.31A, RT.1/RW.5, Kb. Sirih, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10340
021-31924491
info@bnpp.go.id
© Badan Nasional Pengelola Perbatasan - 2025