|
Berita
Berita BNPP
Perbatasan Terpanas Dunia Akhir 2025 dan Urgensi Reformasi Pengelolaan Perbatasan Indonesia
Dibuat Admin BNPP
23 Dec 2025, 11:47 WIB

Oleh: Drs. Hamidin - Kelompok Ahli BNPP RI
Dinamika geopolitik global pada akhir 2025 menunjukkan satu kesamaan yang mencolok: kawasan perbatasan kembali menjadi titik paling rapuh dalam tatanan hubungan internasional.
Perbatasan tidak lagi sekadar garis administratif antarnegara, melainkan menjelma sebagai ruang konflik terbuka, rivalitas strategis, krisis kemanusiaan, hingga cerminan kegagalan tata kelola global.
Dari Eropa Timur, Timur Tengah, Asia Selatan, hingga Afrika, eskalasi konflik menempatkan perbatasan sebagai episentrum instabilitas dunia.
Kondisi ini menjadi peringatan dini yang relevan bagi Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan ribuan kilometer perbatasan darat dan laut, Indonesia tidak berada di luar pusaran geopolitik global.
Konflik perbatasan di berbagai belahan dunia menegaskan bahwa pengelolaan perbatasan tidak bisa diperlakukan semata sebagai isu koordinasi administratif, melainkan sebagai fungsi strategis negara yang menuntut pendekatan operasional, responsif, dan berkelanjutan.
Konflik Rusia–Ukraina masih menjadi contoh paling nyata bagaimana perbatasan berubah menjadi garis depan kekerasan berskala besar. Wilayah Donbas dan Krimea kehilangan makna diplomatiknya dan bertransformasi menjadi medan perang modern yang melibatkan artileri berat, rudal jarak jauh, hingga sistem drone.
Situasi ini memperlihatkan bahwa ketika perbatasan gagal dikelola secara politik dan hukum, kekuatan militer menjadi instrumen utama negara.¹
Pola serupa terlihat dalam konflik Israel–Palestina. Hingga akhir 2025, Gaza dan Tepi Barat tetap berada dalam pusaran konflik asimetris berkepanjangan.
Gencatan senjata yang rapuh tidak menyentuh akar persoalan sengketa perbatasan yang belum pernah diselesaikan secara struktural. Akibatnya, perbatasan terus melahirkan siklus kekerasan dan krisis kemanusiaan yang berulang.²
Di Asia Selatan, perbatasan India–Pakistan di wilayah Kashmir tetap menjadi salah satu titik paling berbahaya di dunia. Line of Control (LoC) memisahkan dua negara dengan kemampuan nuklir dan sejarah konflik panjang.
Eskalasi bersenjata yang terjadi pada Mei 2025 menunjukkan betapa tipisnya jarak antara insiden taktis di perbatasan dan krisis strategis berskala regional.³
Sementara itu, sengketa wilayah Essequibo antara Venezuela dan Guyana memperlihatkan wajah lain konflik perbatasan modern yang dipicu oleh kepentingan sumber daya strategis.
Langkah-langkah sepihak, termasuk referendum aneksasi dan insiden maritim, meningkatkan risiko militerisasi kawasan. Kasus ini menegaskan bahwa perbatasan kaya sumber daya memerlukan kepastian hukum internasional agar tidak berkembang menjadi konflik terbuka.⁴
Di Afrika, konflik Sudan–Ethiopia di wilayah Al-Fashqa menunjukkan bagaimana perang internal dapat meluber menjadi konflik lintas batas.
Kekosongan keamanan akibat konflik domestik dimanfaatkan aktor bersenjata non-negara, menjadikan perbatasan sebagai ruang tanpa kendali negara dan memicu instabilitas berkelanjutan sepanjang 2025.⁵
Konflik Transisi: Stabilitas yang Rentan
Tidak semua konflik berada dalam fase perang terbuka. Semenanjung Korea, misalnya, masih berada dalam status gencatan senjata. Zona Demiliterisasi (DMZ) tetap menjadi perbatasan dengan konsentrasi militer tertinggi di dunia. Uji coba rudal dan eskalasi retorika sepanjang 2025 menegaskan bahwa konflik ini hanya “membeku”, bukan selesai. Satu salah perhitungan dapat memicu eskalasi besar.⁶
Di Kaukasus Selatan, Armenia dan Azerbaijan memang telah menandatangani kesepakatan damai awal. Namun proses demarkasi perbatasan yang belum tuntas membuat ketegangan di lapangan tetap terjadi.
Hal ini menunjukkan bahwa perdamaian perbatasan membutuhkan lebih dari sekadar kesepakatan politik, ia menuntut implementasi teknis yang konsisten dan pengawasan berkelanjutan yang kuat di lapangan.⁷
Hubungan China–India di Himalaya menunjukkan de-eskalasi terbatas melalui kesepakatan patroli dan penarikan pasukan di beberapa titik. Meski demikian, ribuan personel militer masih bersiaga di wilayah ekstrem, mencerminkan rivalitas strategis jangka panjang yang belum terselesaikan.⁸
Pelajaran Positif: Resolusi di Asia Tengah
Di tengah dominasi konflik, penyelesaian sengketa perbatasan Kyrgyzstan–Tajikistan pada Maret 2025 menghadirkan pelajaran positif. Kejelasan demarkasi, komitmen politik, serta mekanisme implementasi bersama terbukti mampu menurunkan eskalasi kekerasan secara signifikan.
Keberhasilan ini bertumpu pada kejelasan demarkasi, komitmen politik, dan mekanisme implementasi bersama.⁹
Indonesia dan Agenda Reformasi Pengelolaan Perbatasan
Bagi Indonesia, dinamika global tersebut menegaskan urgensi reformasi pengelolaan perbatasan. Secara normatif, Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, yang menegaskan kewajiban negara dalam menjaga kedaulatan, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat perbatasan.
Namun pada tataran implementasi, tantangan masih nyata. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 hingga kini masih berfungsi dominan sebagai badan koordinatif.
Dalam konteks dinamika perbatasan yang semakin cepat dan kompleks, pendekatan ini perlu diperkuat agar lebih adaptif dan operasional.
Penguatan kelembagaan dapat dilakukan dengan memposisikan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) sebagai unit operasional negara yang memiliki mandat eksekutif jelas dan dasar hukum tegas melalui Keputusan Presiden.
Dengan penguatan tersebut, PLBN tidak hanya menjadi simpul pelayanan lintas sektor, tetapi juga instrumen negara dalam pengendalian keamanan, mobilitas lintas batas, serta respons cepat terhadap insiden perbatasan.
Selain itu, kehadiran Border Liaison Officer (BLO) yang fungsional dan membumi menjadi kebutuhan strategis. BLO harus mampu menjembatani negara dengan realitas sosial-budaya di perbatasan, membangun komunikasi lintas batas, sekaligus berperan sebagai sistem peringatan dini terhadap potensi gangguan keamanan dan konflik sosial.
Pengelolaan perbatasan juga membutuhkan sistem pelaporan, pemantauan, dan pengendalian berbasis real time yang terintegrasi secara nasional. Sistem ini harus memungkinkan setiap kejadian di perbatasan dianalisis dan ditindaklanjuti dalam waktu cepat dengan rantai komando yang jelas lintas kementerian dan lembaga. Tanpa mekanisme tersebut, negara akan terus berada dalam posisi reaktif, bukan antisipatif.
Dinamika konflik global pada akhir 2025 memberi pelajaran berharga tentang arti strategis perbatasan bagi keberlangsungan sebuah negara. Dunia menunjukkan bahwa perbatasan yang diabaikan akan berubah menjadi sumber krisis berkepanjangan. Indonesia masih memiliki peluang untuk belajar tanpa harus membayar harga konflik terbuka.
Namun peluang tersebut hanya akan bermakna jika diikuti keberanian melakukan reformasi kebijakan pengelolaan perbatasan yang berbasis hukum, berorientasi operasional, dan berpihak pada kepentingan nasional.
Dalam lanskap geopolitik yang semakin tidak pasti, perbatasan harus diposisikan sebagai garda terdepan kedaulatan negara, sekaligus wajah kehadiran negara yang melindungi, melayani, dan menyejahterakan rakyatnya.
(Ilustrasi foto/codastory.com)
(Humas BNPP RI)
Catatan Kaki
1. United Nations High Commissioner for Human Rights. Report on the Human Rights Situation in Ukraine 2025. United Nations, 2025.
2. United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs. Occupied Palestinian Territory Humanitarian Update. OCHA, 2025.
3. International Crisis Group. India–Pakistan Tensions and the Line of Control. ICG Asia Report, 2025.
4. Council on Foreign Relations. Venezuela, Guyana, and the Essequibo Dispute. CFR Backgrounder, 2025.
5. African Union Peace and Security Council. Border Conflicts and Regional Stability in the Horn of Africa. AU, 2025.
6. Arms Control Association. North Korea’s Missile Program and Regional Security. ACA, 2025.
7. U.S. Department of State. Armenia–Azerbaijan Peace Process Update. Aug. 2025.
8. Lowy Institute. China–India Border De-escalation: Risks and Limits. Lowy Analysis, 2025.
9. Organization for Security and Co-operation in Europe. Kyrgyzstan–Tajikistan Border Agreement. OSCE, 2025.
10. Indonesia. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
11. Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Share
Kategori Berita
Berita BNPP
PLBN
Berita Nasional
Berita Perbatasan
Pers Rilis
Berita Utama
Berita Terbaru

BNPP RI Pastikan Pelayanan PLBN Terpadu Tetap Optimal Selama Libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026

Perbatasan Terpanas Dunia Akhir 2025 dan Urgensi Reformasi Pengelolaan Perbatasan Indonesia

Hadapi Puncak Arus Mudik Nataru, BNPP RI Optimalkan Layanan di PLBN Aruk

Fasilitasi Dialog Strategis, BNPP RI Lewat PLBN Skouw adakan Seminar Berbasis Kearifan Lokal

ISIS Pasca-Kekhalifahan: Teror Tanpa Wilayah, Antisemitisme Global, dan Antisipasi PLBN Indonesia.

Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (BNPP RI)
Jl. Kebon Sirih No.31A, RT.1/RW.5, Kb. Sirih, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10340
021-31924491
info@bnpp.go.id
© Badan Nasional Pengelola Perbatasan - 2025