Logo BNPP
Badan Nasional Pengelola PerbatasanRepublik Indonesia (BNPP RI)
Beranda

|

Berita

Berita BNPP

Selain Korea dan India, Konflik Perbatasan Ini Paling Rawan di Asia

Dibuat Admin BNPP

18 Dec 2025, 15:20 WIB

Selain Korea dan India, Konflik Perbatasan Ini Paling Rawan di Asia

Oleh: Drs. Hamidin - Kelompok Ahli BNPP RI


Konflik perbatasan kerap dipandang sebagai isu pinggiran, sekadar persoalan garis batas yang jauh dari pusat kehidupan global. Namun, pengalaman sejarah justru menunjukkan sebaliknya. Banyak konflik bersenjata, krisis kemanusiaan, hingga instabilitas kawasan bermula dari wilayah-wilayah perbatasan yang selama ini dianggap sunyi dan terpinggirkan.


Eskalasi konflik antara Thailand dan Kamboja pada Desember 2025 kembali mengingatkan dunia, termasuk Indonesia, bahwa konflik perbatasan bukanlah residu masa lalu. Ia merupakan ancaman nyata yang dapat muncul kapan saja, terutama ketika akar persoalan tidak diselesaikan secara menyeluruh.


Selama ini, perhatian internasional lebih banyak tersedot pada ketegangan di Semenanjung Korea atau konflik perbatasan India dengan Pakistan dan Tiongkok. Padahal, di Asia Tenggara, kawasan yang selama ini dikenal relatif stabil tersimpan sengketa laten yang tak kalah berbahaya, yakni konflik Thailand–Kamboja di sekitar Kuil Preah Vihear. Konflik ini bukan hanya persoalan dua negara bertetangga, melainkan refleksi rapuhnya tata kelola perbatasan di kawasan regional.


Yang membuat konflik ini berbahaya bukan semata karena intensitas kekerasannya, melainkan karena sifatnya yang berulang. Konflik tersebut tidak pernah benar-benar berakhir; ia hanya mereda, lalu kembali meletup ketika kondisi politik, ekonomi, atau keamanan memungkinkan. Pola inilah yang menjadi ciri klasik konflik perbatasan yang akarnya tidak disentuh secara tuntas.


Secara historis, sengketa Thailand–Kamboja berakar pada warisan kolonial awal abad ke-20. Ketika Prancis sebagai kekuatan kolonial di Kamboja dan Kerajaan Siam menyepakati batas wilayah, prinsip yang digunakan adalah garis pemisah alami Pegunungan Dangrek. 


Namun, peta resmi yang disusun otoritas kolonial Prancis justru menyimpang dari prinsip tersebut. Dalam peta itu, Kuil Preah Vihear dan wilayah sekitarnya digambarkan masuk ke wilayah Kamboja, meskipun secara geografis lebih mudah diakses dari Thailand.


Ketidaksesuaian antara teks perjanjian, peta kolonial, dan realitas geografis inilah yang kemudian menjadi sumber sengketa berkepanjangan. Pada masa itu, Siam tidak segera mengajukan keberatan resmi, sikap yang di kemudian hari ditafsirkan sebagai persetujuan diam-diam. 


Namun, dalam praktik politik internasional, sengketa yang dibiarkan mengendap justru berpotensi meledak di masa depan.¹


Persoalan ini mencapai ranah hukum internasional pada 1962, ketika Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa bangunan Kuil Preah Vihear berada di bawah kedaulatan Kamboja.² 


Putusan tersebut kerap dianggap sebagai titik akhir sengketa. Kenyataannya, keputusan itu justru menyisakan masalah baru. ICJ tidak secara tegas menetapkan status wilayah seluas sekitar 4,6 kilometer persegi di sekitar kuil.


Wilayah inilah yang kemudian menjadi “zona abu-abu” konflik. Thailand memandangnya sebagai bagian dari wilayah nasional, sementara Kamboja menganggapnya sebagai area yang tak terpisahkan dari situs suci dan simbol identitas nasional. Sengketa semacam ini sangat kompleks karena tidak hanya menyangkut batas teritorial, tetapi juga memori sejarah, simbolisme nasional, dan harga diri bangsa.


Memasuki abad ke-21, dinamika nasionalisme memperparah situasi. Pada 2008, ketika Kamboja mendaftarkan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, Thailand menilai langkah tersebut sebagai klaim sepihak atas wilayah sengketa. Ketegangan diplomatik pun berubah menjadi bentrokan bersenjata di lapangan. 


Puncaknya terjadi pada 2011, saat baku tembak artileri berat menewaskan aparat dan warga sipil serta memaksa puluhan ribu orang mengungsi.³


ASEAN saat itu berhasil meredam konflik melalui jalur diplomasi regional. Indonesia, sebagai Ketua ASEAN, memainkan peran penting dalam mendorong gencatan senjata dan pembentukan mekanisme pemantauan bersama. 


Namun, sebagaimana banyak konflik perbatasan lainnya, solusi yang dicapai bersifat sementara. Akar persoalan berupa ketidakjelasan batas wilayah tetap belum terselesaikan.


Eskalasi kembali pada 2025 membuktikan rapuhnya perdamaian semu tersebut. Bentrokan senjata ringan yang awalnya bersifat lokal berkembang menjadi konflik berskala lebih luas. 


Penggunaan serangan udara, artileri berat, hingga roket menandai kembalinya konflik terbuka. Yang lebih mengkhawatirkan, ketegangan tidak hanya terjadi di darat, tetapi juga merembet ke wilayah laut di Teluk Thailand, kawasan strategis yang kaya sumber daya minyak dan gas serta menjadi jalur penting perdagangan regional.⁴


Dampak kemanusiaan dari konflik ini sangat nyata. Ratusan ribu warga sipil di kedua sisi perbatasan terpaksa meninggalkan rumah mereka. Infrastruktur rusak, aktivitas ekonomi lumpuh, dan masyarakat perbatasan—yang selama ini menggantungkan hidup pada interaksi lintas negara—menjadi korban utama dari konflik yang tidak pernah mereka kehendaki.


Konflik Thailand–Kamboja memperlihatkan pola yang seharusnya menjadi peringatan serius bagi kawasan lain. Sengketa wilayah yang tidak diselesaikan secara tuntas akan selalu menjadi komoditas politik. 


Dalam situasi politik domestik yang tidak stabil, isu kedaulatan dan ancaman eksternal kerap dimanfaatkan untuk membangkitkan nasionalisme dan konsolidasi kekuasaan. Ketika hal itu terjadi, perbatasan berubah dari ruang hidup bersama menjadi medan konflik.


Bagi Indonesia, pelajaran dari konflik ini sangat relevan. Sebagai negara kepulauan dengan ribuan kilometer batas darat dan laut, Indonesia memiliki potensi kerawanan yang tidak kecil.


Perbatasan bukan sekadar garis administratif, melainkan beranda depan negara. Ketika perbatasan dikelola secara lemah baik dari sisi hukum, pembangunan, maupun kehadiran negara ia berpotensi menjadi titik rawan konflik dan instabilitas.


Dalam konteks inilah, peran Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) menjadi semakin strategis. Pengelolaan perbatasan tidak dapat dipahami semata sebagai pembangunan infrastruktur fisik atau pelayanan administratif. Ia harus ditempatkan sebagai bagian integral dari strategi keamanan nasional dan diplomasi preventif. 


Kejelasan batas wilayah, peningkatan kesejahteraan masyarakat perbatasan, serta penguatan kerja sama bilateral dan regional menjadi kunci utama dalam mencegah konflik serupa.


Pengalaman ASEAN dalam menangani konflik Thailand–Kamboja juga menunjukkan bahwa stabilitas kawasan tidak bisa hanya mengandalkan mekanisme reaktif.


Diplomasi regional perlu diperkuat dengan keberanian menyentuh akar persoalan, termasuk isu batas wilayah yang selama ini dianggap sensitif. Tanpa langkah tersebut, ASEAN akan terus berada dalam posisi memadamkan api, bukan mencegah kebakaran.


Pada akhirnya, konflik perbatasan di Asia baik di Korea, India, maupun Thailand–Kamboja, menegaskan satu pelajaran mendasar: sejarah yang dibiarkan menggantung akan terus menghantui masa depan.


Bagi Indonesia, memperkuat tata kelola perbatasan bukan sekadar agenda teknokratis, melainkan investasi strategis bagi perdamaian, stabilitas kawasan, dan ketahanan nasional jangka panjang. Perbatasan yang dikelola dengan baik bukan hanya menjadi penanda kedaulatan, tetapi juga fondasi kuat bagi masa depan bangsa yang aman dan berdaulat.



(Humas BNPP RI)

(Ilustrasi foto/IDN Times/commons.wikimedia.org/Jorge Láscar)


Catatan Kaki


1. Thongchai Winichakul, Siam Mapped: A History of the Geo-Body of a Nation (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1994).

2. International Court of Justice, Case Concerning the Temple of Preah Vihear (Cambodia v. Thailand), Judgment of 15 June 1962.

3. Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia (London: Routledge, 2014).

4. Ian Storey, “Thailand–Cambodia Relations: Territorial Disputes and Regional Stability,” Contemporary Southeast Asia 33, no. 3 (2011).

Share

Kategori Berita

Berita BNPP

1076

PLBN

653

Berita Nasional

70

Berita Perbatasan

252

Pers Rilis

41

Berita Utama

725

Berita Terbaru

https://apibackend.bnpp.go.id/images/news/8ce6e2ec-8e15-4654-8ba6-9c062c726256.jpg

Nilai Ekspor Capai Rp5,9 Triliun, BNPP RI melalui PLBN Motaain Dorong Pertumbuhan Ekonomi Perbatasan

https://apibackend.bnpp.go.id/images/news/35d205bf-8bf3-4592-b729-ea465097af91.png

Selain Korea dan India, Konflik Perbatasan Ini Paling Rawan di Asia

https://apibackend.bnpp.go.id/images/news/9e03517b-1a3b-48a4-8abc-c1dff4121918.jpeg

BNPP RI Gelar Motaain Border Expo 2025, Dorong Transformasi Ekonomi dan Layanan Perbatasan

https://apibackend.bnpp.go.id/images/news/3a34fbd1-fcf4-48ff-bf25-c5490069d28c.jpg

Merawat Beranda Negara: Refleksi Akhir Tahun 2025 tentang Masa Depan BNPP RI

https://apibackend.bnpp.go.id/images/news/0e82fcef-ea27-4b93-b597-baa5e7948e62.jpg

Perkuat Kesiapsiagaan Tanggap Darurat, BNPP RI melalui PLBN Sebatik Gelar Sosialisasi Penanggulangan Kebakaran

Berita Terkait
Logo BNPP

Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (BNPP RI)

Location Icon

Jl. Kebon Sirih No.31A, RT.1/RW.5, Kb. Sirih, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10340

Phone Icon

021-31924491

Email Icon

info@bnpp.go.id

White Facebook Icon
White Twitter Icon
White Instagram Icon
White Tiktok Icon
White Youtube Icon

© Badan Nasional Pengelola Perbatasan - 2025